Ada yang baca koran, berdiskusi, menyiapkan acara di masing-masing BEM. Atau sekedar duduk melepas penat. Sedangkan Leni dan Riri asyik menyeruput jus sirsak pesanan di kantin.
Mahasiswa yang terkenal aktif di BEMJ Bimbingan dan Konseling Islam (BKI) ini, juga terkenal aktif memburu berita percintaan di kalangan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Bahkan majalah kampus pernah ingin merekrutnya sebagai wartawan, maklum Ratu Gosip.
Ketika ada kabar yang belum tentu kebenarannya, ia justru sudah mensosialisasikan ke setiap jengkal kampus. Walaupun kerap salah dan informasinya merugikan orang lain, ia tidak kapok. Ya, namanya berita kadang benar kadang salah, begitu gumamnya.
Hari ini benar-benar ada berita heboh yang akan menggelegar: seorang akhwat kedapatan berduaan dengan seorang cowok. Leni yang menyebar kabar itu. Tak pelak, ia yang begitu mengagumi seniornya ini yang terkenal cantik dan berkepribadian menarik, langsung luntur dalam bayangan teladannya.
“Eh Riri, Masya Allah, Gue benar-benar gak nyangka Ri. Ka Ica yang begitu gua kagumi sosoknya. Ah gua benar-benar gak bisa ngomong, Ri!”
“Slow dong Man…. Slow…, Ada apa Len, kamu mah bikin aku penasaran aja.”
Leni geleng-geleng kepala, mulutnya terasa tertutup rapat untuk menghembuskan barang satu kata pun. “Oh My God..”
“Lho emang kenapa sih Len?”
“Gua harap lo jangan kaget atas apa yang gua lihat tadi?
Riri mengangguk..
“Gua baru aja pengen ke kamar mandi lantai 7.”
“Yang deket Turki Corner itu?” Potong Riri.
“That’s it!! Gua lihat sekilas Kak Ica lagi berduaan sama seorang cowok.”
“Ah biasa aja kali, mungkin ada keperluan kali. Lagipula juga lo lihatnya sekilas,” sanggah Riri tak mudah percaya.
Leni menggebrak meja dengan emosional dan berkata, “Eh masih mending kalau berduaan aja, ini pake pegang-pegangan tangan! Eh emang gua gak lihat jelas muka cowoknya, tapi itu tetap cowok!”
“Astaghfirullah aladzim, sumpeh lo?”
Leni mengangguk kecewa.
Keesokan harinya..
Ica yang terkenal berkepribadian santun di seantero UIN Jakarta, sedang bersiap-siap menuju kampus. Ia keluar dengan mengunci rapat kamar kosnya. Tasnya sangat berat, di dalamnya terselib buku Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah.
“Sini aku yang bawa sayang,” ucap seorang cowok berperawakan sedang. Di depan kos mereka, menangkring motor Honda tahun 80an.
“Ah tidak usah, aku aja yang bawa. Kamu langsung balik aja, gak enak nanti dilihat banyak orang.”
“Ya sudah malam minggu, kamu ada di kos kan? Kita ngapel ya?”
“Iya dong say,” belay Ica pada pipi sang cowok berkulit sawo mentah.
“Hmm kita nonton apa ya?”
“Gading-gading Dakwah saja”
“Oke deh..” ucap pasang cowok sambil memakai jaket hitam.
Leni dan Riri yang hobi nonton Detektif Konan, ternyata bersembunyi di balik rental komputer Ijul, yang terletak tak jauh dari kos Ica.
“Lailahailallah, Laknatullah benar-benar Ukh Ica, ternyata apa katamu benar, Len. Aku gak habis pikir,” kaget Riri.
“Ssssstttt, entar kita ketahuan, lo diam aja dulu. Gua udah siapain kamera untuk merekam ini semua,” gusar Leni.
“Hehe.. gak percuma kamu ikut seminar sehari inteligensi. By the way, kayaknya cowoknya Ikhwan juga?”
“Ah kalo Ikhwan moralnya begitu, sorry lah yau..” tampik Leni.
Di tengah pembicaraan itu, Riri mencoba melongok lebih jauh. Ia ingin memastikan siapakah gerangan di balik pria yang bersama Ica. Namun tanpa disadari, kaki kirinya malah menginjak batang kayu reot.
“Guuubbrrraakkk..!!”
Mata Ica spontan mengikuti arah suara yang mengagetkan.
Riri dan Lani panik kalang kabut. Mereka cepat-cepat memepet tubuh hingga balik tembok. Jantung mereka berdegup kencang.
Ica menghampiri sumber suara, radiusnya sekitar 7 meter saja dari kos. Ia berjalan cepat karena takut ada apa-apa. Bisa saja maling motor yang marak di Ciputat memanfaatkan kelengagannya. Ia celingak-celinguk. Matanya terus mendekati tubuh Leni dan Riri yang berlindung di balik dinding rapuh.
Leni dan Riri sama-sama menahan suara agar tidak kecium Ica. Namun Leni ingin sekali bersin, karena hidungnya kemasukan debu dari patahan kayu.
Jari Riri sesekali mencubit paha Leni agar berusaha menahan bersinnya.
Ica mendekati ke mereka. Langkah kakinya semakin membuat kedua “detektif” ketakutan.
Riri kencang-kencang mencubit Leni. Kalau cubitan yang ini, murni karena Riri sangat tegang.
Dan…. “Hay kak, lagi ngapain?” Tanya Ijul sang pemilik rental computer depan kos Ica.
“Eh Ijul.. oya gimana ketikan Kakak udah beres?” selidik Ica
“Dikit lagi kak, ini tinggal ngerjain SPSS-nya aja,” jawab Ijul.
“Syukron ya Jul. Oya Jul kakak buru-buru nih mau ke kampus, ada janji sama teman bikin proposal untuk BEM.”
“Tapi entar dulu kak, oya kajian Islam-nya jadi gak entar malam?”
“Insya Allah, kamu sudah dua kali gak ikutan lho, yee… curang”
“Pematerinya siapa kak?
”Ustadz Rahman, sekarang masuk bahasan Ibnu Qayyim Al Jauzi,”
“Insya Allah deh kak dating.”
“ÓK aku tunggu lho, kalau gak aku hipnotis.”
“Hehehe afwan, Kak.”
Leni dan Riri masih bersembunyi di balik tembok. Kaki mereka mulai gemetaran, Tangan Riri bak diikat, karena sedari tadi menyumpal mulut Leni. Ketika tubuh Ica menghilang, barulah mereka tenang.
Dan, “Haahaahsssssyyyyyyyyyiiimmmm,” bersin Leni menggelegar.
(bersambung...)
Posting Komentar